MAKALAH PENYEBARAN BERITA HOAX
PSIKOLOGI
DAN TEKNOLOGI INTERNET
Dosen
: Aprilia Maharani Ayuningsih
DISUSUN
OLEH:
1. Aryasatya
Nugraha (11518143)
2. Dery
Andanu (11518760)
3. Halim
Ikhsan Hatuwe (13518017)
4. Khonsa
Lathifah (13518686)
5. Maheswari
Alsyifa (13518940)
6. Rizka
Melina Ramadhani A. (16518272)
UNIVERSITAS
GUNADARMA
DEPOK
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, Segala puji bagi Allah SWT
Tuhan Semesta Alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “Penyebaran Berita
Hoax” disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi dan
Teknologi Internet yang diampu oleh Aprillia
Maharani Ayuningsih.
Makalah ini telah disusun secara maksimal, namun kami sebagai
manusia biasa menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Karenanya kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Besar harapan kami makalah ini dapat menjadi sarana membantu
dalam memahami apa itu penyebaran berita hoax dan apa saja dampak yang di
akibatkan oleh penyebaran berita hoax itu sendiri.
Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide atau
gagasan yang menambah wawasan pembaca.
Depok, Mei 2020
Penyusun
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan media sosial
di Indonesia saat ini berkembang luar
biasa. Media sosial muncul dalam media baru dan selalu mendapat sambutan yang
hangat dari pengguna internet. Media sosial ini mengijinkan kita untuk dapat
bertukar informasi dengan semua orang yang merupakan sesama pengguna media
tersebut. Perilaku penggunaan media sosial pada masyarakat Indonesia yang
cenderung konsumtif, membuat informasi yang benar dan salah menjadi
bercampuraduk.
Keadaan tersebut
di satu sisi bisa menjadi potensi yang menguntungkan, namun di sisi lainnya
bisa menjadi sebuah ancaman atau setidaknya malah memberikan dampak negative
menutupi informasi sebenarnya. Dengan kata lain hoax juga bisa diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta
menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan tetapi tidak dapat
diverifikasi kebenarannya.
Tujuan dari hoax yang disengaja
adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Hoax sengaja dibuat
untuk menipu pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu dan menggiring
opini mereka agar mengikuti kemauan pembuat hoax. Penyebaran hoax menggunakan pendekatan social engineering yaitu manipulasi psikologis dari seseorang dalam melakukan
aksi atau menguak suatu informasi rahasia. Social engineering umumnya dilakukan melalui telepon atau internet dan yang
paling mudah dilakukan melalui media sosial.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian penyebaran berita hoax?
2.
Sebutkan contoh kasus penyebaran berita
hoax?
3.
Bagaimana analisis dari contoh kasus
penyebaran berita hoax?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini, yaitu :
1. Untuk
mengetahui pengertian dari penyebaran berita hoax
2. Untuk
mengetahui contoh kasus penyebaran berita hoax
3. Untuk
mengetahui dampak yang ditimbulakn dari penyebaran berita hoax
BAB IIPEMBAHASAN
A. Definisi
Teknologi
komunikasi dan informasi (TIK) berkembang mengikuti perkembangan zaman dengan
adanya beragam media termasuk media sosial. Media sosial ini mengijinkan kita
untuk dapat bertukar informasi dengan semua orang yang merupakan sesama
pengguna media tersebut. Penggunaan media sosial sebagai jembatan untuk
membantu proses peralihan masyarakat yang tradisional ke masyarakat yang
modern, khususnya untuk mentransfer informasi pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah kepada masyarakatnya.
Sayangnya banyak
informasi atau berita yang disebarkan secara individu atau berkelompok lebih
banyak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau teindikasi
hoax. Hoax merupakan informasi atau berita yang berisi hal-hal yang belum pasti
atau yang benar-benar bukan merupakan fakta yang terjadi. Direkayasa untuk
menutupi informasi sebenarnya. Dengan kata lain hoax juga bisa diartikan
sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah
meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Permasalah yang
timbul dari penggunaan media sosial saat ini adalah banyaknya hoax yang
menyebar luas, bahkan orang terpelajar pun tidak bisa bedakan mana berita yang
benar, advertorial dan hoax. Penyebaran tanpa dikoreksi maupun dipilah, pada
akhirnya akan berdampak pada hukum dan informasi hoax-pun telah memecah belah
publik.
B. Faktor-Faktor
1. Prioritaskan isi artikel daripada sumber berita nya
Sebuah studi dari Universitas Stanford menunjukkan anak muda
terutama remaja atau mahasiswa menilai kebenaran berita dari detail konten
seperti jumlah dan besarnya foto, panjang artikel, dan lain lain. Penelitian
ini dilakukan kepada 7.840 siswa dari berbagai latar belakang. Responden
diminta untuk memberikan evaluasi terhadap konten berita yang ditujukan. Hasil
dari penelitian tersebut menyatakan bahwa anak muda lebih memprioritaskan isi
artikel daripada sumber berita. Hal ini menjadi alasan kenapa anak muda sangat
rentang sekali dengan berita hoax.
Jika
Anda percaya dengan paragraf diatas, berarti Anda prioritaskan isi artikel.
Namun jika Anda masih belum percaya, maka akan mencari tahu sumber beritanya.
Kata kunci yang digunakan untuk cari sumber berita adalah Universitas Stanford,
7.840 siswa.
Paragraf
diatas saya kutip langsung dari artikel milik brilio.net. Saya harus cari tahu
sumber beritanya dan menemukan di halaman website Universitas Stanford langsung. Saya juga membuka
laporan hasil studi nya langsung berformat PDF. Disana angka jumlah responden adalah 7.804. Sedangkan
berita dari brilio adalah 7.840. Lantas mana yang benar dan mana yang hoax
kalau begitu?
2.
Suka berbagi, malas membaca
Membaca judul yang provaktif, bukannya meneruskan membaca
namun buru-buru membagikannya karena rasa sosial nya tinggi. Tak lupa diimbuhi
kalimat, “Indahnya berbagi.” Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the
World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016
lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat
membaca.
3.
Terlalu cemas terancam bakal terjadi bahaya
Menurut Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi
Media dari Universitas Indonesia, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah
dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal.
Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya. Informasi hoax yang bersifat
negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih.
Contoh
isu-isu perang Suriah akan terjadi di Indonesia, sistem pemerintahan Indonesia
akan diubah dengan Kekalifahan, bangkitnya PKI, dll yang sifatnya negatif akan
berpotensi menyebar bila jatuh kepada orang yang diliputi kecemasan berlebihan.
4.
Mengikuti Tren
Tengok tren yang berkembang di Indonesia, mulai politik
hingga sosial. Beragam hashtag politik malang melintang, contoh:
#2019GantiPresiden #2019TetapJokowi. Maka setiap detik netizen NKRI disuguhkan
beragam berita. Yang tadinya diam akhirnya ikutan terpancing karena alasan lagi
trending.
Kita tengok juga kasus sosial dengan hastag
#JusticeForAudrey yang mendunia. Namun akhirnya ada hashtag susulan
#AudreyJugaBersalah. Para netizen yang tadinya jadi penonton, ikutan terpancing
menyebarkan. Padahal minim sumber berita.
5.
Paling update, ingin pengakuan
Bagaimanakah jika berita yang Anda sebarkan ternyata
mendapatkan respon dengan disebarkan lagi oleh follower Anda? Banyak yang share
dan jadi viral gara-gara Anda kan? Ada yang punya perasaan bangga dan bahagia.
Itulah ingin mendapatkan pengakuan. Bisa jadi ingin diakui kehebatannya.
Dipuji, cari sensasi dan ingin dikenal juga.
6.
Psikopat atau dibayar oleh pihak tertentu
Menurut dr Andri SpKJ, FAPM dari Klinik Psikosomatik RS Omni
Alam Sutera, seseorang bisa saja dengan sengaja menyebarkan berita atau
informasi hoax dengan tujuan memancing keributan atau provokasi. Menurut dr
Andri, mereka-mereka ini jauh dari kata kurang intelek atau ketinggalan zaman.
“Malah sebagian besar biasanya pintar, dan memposting berita bohong, hoax,
provokatif agar orang-orang marah dan memang ini rutinitas dia,” ucapnya lagi.
Coba kita tengok kasus hoax seperti kasusnya Ratna
Sarumpaet, Saracen, WA disadap pemerintah, dll. Apa tujuan nya coba? Kemudian
ada pula yang memang dibayar untuk tujuan tertentu. Penggiringan opini,
pemenangan pihak tertentu.
7.
Nggak ada kerjaan & pegang gadget seharian
Inilah penyebab penyebar hoax sejati. Sudah malas verifikasi
sumber berita, malas membaca, selalu berfikiran negatif dan suka cemas,
terprovokasi judul yang boombastis dan salah kaprah mengikuti tren, ingin
diakui dan punya jiwa psikopat. Kemudian dia pengangguran dan seharian pegang
gadget. Apa yang terjadi? Ya, sebar berita sana sini. Forward informasi WA sana
sini. Bahaya!
C. Contoh
kasus
Salah
satu isu yang sempat menyebar menyangkut masalah pangan juga pernah menjadi
perbincangan hangat. Isu telur palsu yang disebarkan seseorang bernama
Syahroni menjadi viral dan sempat
menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Syahroni menyebarkan hoax melalui video berdasarkan info yang didapat dari
pesan di grup Whatsapp. Tak lama, polisi kemudian mengamankan Syahroni dan Ia
mengaku menyesal telah menyebarkan berita hoax. Namun, video Syahroni terus
menjadi viral dan tetap memberikan dampak negatif pada masyarakat.
Berita
hoax yang menyebar juga pernah berkaitan dengan proyek infrastruktur. Beredar
foto Jembatan Cisomang yang bengkok tiangnya, dan jembatan yang melengkung.
Foto ini viral di kalangan masyarakat dan menggiring opini tentang buruknya
kualitas infrastruktur di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Foto tersebut
kemudian diklarifikasi oleh pihak Jasa Marga sebagai hoax. Jembatan tersebut
memang terjadi pergeseran sebesar 53cm, namun tidak sampai membuat jembatan
menjadi melengkung seperti tampak di foto.
Dalam
keterangan resminya, Jasa Marga menulis bahwa foto tersebut merupakan hasil
suntingan oknum tidak bertanggung jawab yang hendak menyebarkan isu menyesatkan. Maraknya
hoax yang tersebar di internet, seharusnya membuat masyarakat mencari
sumber-sumber lain guna mengonfirmasi kebenaran suatu berita. Televisi berita
yang eksis tentunya bisa menjadi pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan akan
informasi yang berkualitas dan benar.
Namun, data yang dilansir oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (2016) menunjukkan bahwa berita di televisi masih di bawah standar indeks kualitas program siaran minimal yang telah ditetapkan oleh KPI.
D. Analisis
Kasus
Perkembangan Teknologi Informasi
dan Komunikasi dari hari ke hari sangatlah pesat. Semua orang dapat dengan
mudah mengakses informasi dan berita apapun di internet, baik yang sedang viral
ataupun berita yang sudah lama. Dengan semakin mudahnya masyarakat mengakses berita di internet,
informasi menjadi lebih cepat sampai ke masyarakat. Sayangnya tidak semua
berita tersebut akurat dan dapat dipercaya kebenarannya. Maraknya berita hoax
yang beredar dan cepatnya berita tersebut sampai ke masyarakat sangatlah
mengkhawatirkan.
Seperti yang terdapat
dalam contoh kasus pertama, dimana
seseorang bernama Syahroni mendapat informasi dari pesan di grup
Whatsapp mengenai telur palsu. Sayangnya, tanpa mencari lebih dalam mengenai
keakuratan dan sumber dari informasi tersebut, Syahroni langsung menyebarkan
informasi tersebut. Informasi ini sempat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Syahroni kemudian di amankan dan mengaku menyesal menyebarkan berita hoax.
Namun karena segala sesuatu yang sudah tersebar di internet akan sulit hilang,
berita tersebut terus viral dan memberikan dampak negatif kepada masyarakat.
Lalu pada contoh kasus kedua, dimana
beredar foto jembatan Cisomang yang tiangnya bengkok dan jembatan yang
melengkung. Ini ini viral dan menggiring opini tentang buruknya kualitas
infrastruktur di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Kemudian foto tersebut di
konfirmasi oleh pihak Jasa Marga yang mengatakan bahwa jembatan tersebut memang
mengalami pergeseran sebesar 53cm, namun tidak sampai membuat jembatan
melengkung seperti difoto, dan bahwa foto tersebut merupakan hasil suntingan
pihak tidak bertanggung jawab.
Dari dua contoh kasus diatas,
masyarakat tampak sangat mudah mempercayai berita hoax karena masyarakat
seringkali malas mencari lebih jauh mengenai keakuratan sebuah berita dan
mencari sumber dari berita tersebut ataupun mencari apakah berita tersebut ada
di portal berita yang terpercaya. Masyakarat biasanya langsung menganggap
segala sesuatu yang mereka baca adalah benar karena kurangnya pengetahuan dan
ketidaktahuan akan berita hoax.
Seperti yang di sebutkan dalam
faktor-faktor kenapa orang-orang dapat mempercayai berita hoax adalah karena
masyarakat lebih memprioritaskan isi artikel disbanding sumber beritanya, malas
membaca keseluruhan isi berita dan terpaku pada judul lalu langsung
menyebarkannya, cemas akan terjadi suatu bahaya, mengikuti tren, ingin mendapat
pengakuan, di bayar oleh pihak tertentu, dan kurangnya kegiatan. Oleh karena
itu, penting bagi masyarakat untuk tidak hanya terpaku pada judul berita yang
sering sekali tidak sesuai dengan isi berita dan membaca berita sampai habis.
Lalu tidak malas untuk mencari sumber dari setiap berita untuk mengetahui
keakuratannya, jangan menyebarkan berita hoax demi sekedar mengikuti tren, dan
jangan juga mudah terprovokasi apalagi oleh berita hoax.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Peristiwa penyebaran
berita hoax yang sedang marak terjadi
di Indonesia menyebabkan keresahan di masyarakat. Hal ini dapat di sikapi oleh
para pengguna media sosial agar menjadi netter
yang cerdas dan lebih selektif serta berhati-hati akan segala berita atau
pun informasi yang tersebar. Diharapkan pula untuk tidak langsung percaya dari
berita atau informasi yang diterima.
Pemerintah diharapkan
lebih cepat lagi merespon hoax yang
beredar dimasyarakat sehingga dapat meminimalisasi kegaduhan atau keresahan yang terjadi dimasyrakat dan
Pemerintah harus lebih giat lagi mensosialisasikan UU ITE agar masyarakat lebih
paham lagi cara menggunakan media sosial dan internet dengan cerdas dan
bijaksana, diharapkan internet digunakan untuk kebaikan hidup dan membaikkan
kehidupan. Dan masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut mengenai
penelitian ini.
Pola-pola kejahatan
penyebaran informasi bohong dapat didesain sedemikian rupa karena rumusan UU
ITE yang masih lemah. Penyebar informasi palsu (hoax) seakan-akan menjadi tumbal dalam perbuatan penyebaran hoax, setelah pelaku pertama memproduksi
informasi, pelaku- pelaku berikutnya dengan sengaja atau tidak sengaja
menyebarluaskan sehingga orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu. Walaupun
pelaku ke dua dan pelaku selanjutnya juga mempunyai kesalahan, yakni
menyebarkan hoax, namun seringkali
penyebar pertama saja lah yang menjadi tumbal. Dan inilah prosedur penyebaran
isu yang sangat mujarab di era teknologi ini.
Berdasarkan hal-hal
yang telah dikemukakan sebelumnya, terkait deengan permasalahan Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Pembuat dan Penyebar Berita Palsu (Hoax) Berdasarkan Pasal 28 Undang Undang No. 11 Tahun 2008, maka
Penulis dapat menyimpulkan bahwa
· Pasal 28 UU ITE, yang berbunyi:
“(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Dari peraturan di atas, Penulis menyimpulkan bahwa
beberapa hal dari Pasal tersebut masih belum jelas atau sumir. Berdasarkan
kasus-kasus hoax yang terjadi di
Indonesia, pelaku atau penyebar hoax masih
dapat bergerak bebas. Pelaku yang dicari oleh penegak hukum seringnya adalah
pelaku atau penyebar hoax yang
membuat berita tersebut atau Pelaku Pertama saja.
Padahal hoax terjadi
akibat tombol share dan tidak menutup
kemungkinan bahwa hoax tersebut di-edit oleh pihak lain sehingga berita
tersebut lebih heboh dan menimbulkan akibat yang disebut oleh Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 28 ayat (2). Kalimat “rasa kebencian” yang tercantum dalam Pasal 28
ayat (2) UU ITE juga sangat subjektif. Tidak disebutkan ukuran kebencian
seperti apakah yang dapat dikenakan Ketentusn Pidana dalam UU ITE.
Terkait dengan delneeming, bahwa adanya kata
“menyebarkan” pada Pasal 28 UU ITE yang berarti menghamburkan, menyiarkan,
menabur, membagi-bagikan dan mengirimkan. Dalam pengertian ini, semua orang
yang hanya membagikan (share) informasi
pun termasuk sebagai "penyebar". Siapa yang dapat dikenakan Pasal
Ketentuan Pidana, yakni Pasal 45 UU ITE, apakah Pelaku pertama saja, atau
Pelaku ke-sekian yang melakukan penyebaran informasi
palsu hoax tersebut ? artinya apa bila kita melakukan penafsiran gramatikal
terhadap pasal 28 UU ITE, dapat menimbulkan penafsiran ganda dimana hal ini
dapat menyebabkan ketidak pastian hukum yang berlaku.
B. SARAN
Dari kesimpulan di atas, saran yang
akan penulis kemukakan adalah:
1.
Sanksi
dalam peraturan perundang-undangan yang diberikan seharusnya lebih diperhatikan
dan diberi seadil-adilnya karena modus kejahatan melalui media elektronik
sangat mudah dilakukan dan telah terjadi peningkatan dari tahun ke tahun maka
pemberian efek jeranya harus lebih optimal.
2.
Pemerintah
beserta berbagai provider penyedia layanan akses internet dan departemen
Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) lebih intens dalam mengamati dan memblokir akun-akun
atau website penyebar informasi palsu (hoax) yang terindikasi melakukan
penyebaran informasi palsu atau bahkan perbuatan melanggar hukum lainnya.
3.
Bila
pemerintah beserta Kepolisian RI serius untuk memburu penyebar isu hoax,
langkah paling pertama adalah harus diusulkan segera untuk merevisi UU ITE yang
ada. Tangkap sederet penyebar isu mulai dari pelaku pertama hingga pelaku ke
sekian yang telah punya andil menjadikan masyarakat yang tidak tahu menjadi
tahu, sebagai efek dari "menyebarkan" (membagikan lewat tombol
share). Bila UU ITE tidak direvisi, maka dari sederetan pelaku, tumbal-tumbal
permasalahan informasi menjadi korban kepentingan para konspirator tingkat
tinggi sehingga upaya pemburuan pun akan terus gagal.
DAFTAR PUSTAKA
·
Juditha, C. (2018). Hoax Communication
Interactivity in Social Media and Anticipation (Interaksi Komunikasi Hoax di
Media Sosial serta Antisipasinya). Pekommas, 3(1).
·
Hidaya, N., Qalby, N., Alaydrus, S. S.,
Darmayanti, A., & Salsabila, A. P. PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP
PENYEBARAN HOAX OLEH DIGITAL NATIVE.
·
Rahadi, D. R. (2017). Perilaku pengguna
dan informasi hoax di media sosial. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 5(1).
·
Hendra
W. Saputro (2019) Dampak dan Penyebab Orang Sebarkan Berita Hoax
· Albert, G., H. (2013). Pengaruh Berita Hoax dan Persepsi
Mahsyarakat Tentang Kualitas Pemberitaan Televisi Berita Terhadap Intensitas
Menonton Televisi Berita
· Benaicha, Hamad. “Virtual
Crime: Is Your Computer Really Secure?” PC Relief: Toronto, 2004
· Brenner, Susan. “Cybercrime:
Criminal Threats from Cyberspace (Crime, Media, and Popular Culture)”.
Praeger: Ohio. 2010
· Dikdik Arief Mansur dan Elisatris Gultom. “Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi”. Refika Aditama: Bandung. 2009
· Effendi, Jonaedi. “Hukum
Pidana”. Prenada Media: Jakarta. 2015
· Febrian, Jack. “Kamus
Komputer dan Teknologi Informasi”, Penerbit Informatika: Jakarta, 2005
· Giddens Anthony, Runaway
World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 2001
· Hisyam, Muhammad. “Indonesia,
Globalisasi dan Global Village”. Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2016
· Indrajit, Richardus Eko. “Evolusi Perkembangan Teknologi Informasi”, Renaissance Research Center. Jakarta. 2002